Sabtu, 14 Mei 2011

Scene Dan Zapatista

Scene punk, atau hardcore, atau apapunlah namanya, tidak pernah lepas dari keterkaitannya dengan issue-issue sosial politik maupun ekonomi baik itu issue nasional, maupun issue internasional, issue global.

Mulai dari kolektif Profane Existence di Amerika sana --yang saat ini telah bubar--, atau label kolektif Alternative Tentacle yang dikoordinir oleh eks-vokalis Dead Kennedys, Jello Biafra, atau juga label Spiral Objective hasil bentukan Greg, seorang eks-anggota partai sosial-demokrat Australia, DSP. Atau juga ratusan label independen yang tersebar di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali label yang sering dianggap sell-out karena kolaborasinya dengan Warner-Bros, Epitaph, selalu terkait juga dengan issue-issue seperti diatas (kecuali label-label independen bodoh yang terlalu idiot untuk dapat berpikir hingga kearah sana).

Belum terlalu lama ini, hampir semua scene-punk/hardcore aktif di dunia ini seakan terfokuskan pada issue-issue dari negeri Nusantara ini. Mulai dari kasus runtuhnya Orde Baru, kemerdekaan Timor Leste, dan lain-lainnya, tampaknya menjadi topik yang sedang 'in', lihat saja bagaimana band crust In/humanity membahas masalah Timor Leste dalam salah satu medianya, lihat bagaimana katalog label Spiral Objective mengulas cukup banyak soalan tersebut, juga lihat bagaimana beberapa band hardcore/crust mengkoordinir sebuah piringan hitam bertitel 'East Timor: A Betrayed Nation', sebuah kompilasi beberapa band dimana semua profit yang didapat dari penjualan kompilasi tersebut disumbangkan bagi membiayai kemerdekaan Timor Leste dan membantu para pengungsinya. Masih banyak lagi band-band dunia lainnya yang peduli kepada masalah tersebut, pun hal itu tidak berhubungan, berkaitan langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari di negeri mereka berada.

Setelah kasus-kasus yang menimpa negeri Nusantara ini, kini mulai menghangat topik WTO, beserta segala kebijakan Neo-Liberalismenya yang sangat merugikan negeri-negeri kapitalis pinggiran seperti negeri kita ini. Dan sebelum kasus-kasus diatas tadi, issue yang banyak diangkat dalam scene adalah issue pemberontakan Zapatista di Chiapas, Meksiko. Tetapi tiap issue tidak berarti setelah dibahas lalu dianggap hilang seperti layaknya sebuah trend, tetapi setiap issue merupakan masukan baru yang akan selalu mendapat perhatian walaupun beberapa issue tersebut sudah memudar di kalangan masyarakat biasa. Seperti contohnya kasus Zapatista, hingga kini masih terus merupakan topik yang menarik, karena hingga kini pula pemerintah dan militer Meksiko masih melakukan intervensi represif terhadap komunitas rakyat Indian Maya yang bertempat tinggal di hutan-hutan Lacandon. Anok And Peace, sebuah label hardcore/punk yang aktif secara politis, juga masih membahas masalah Zapatista tersebut, mereka menyediakan informasi lewat internet, bahkan juga melancarkan propagandanya melalui desain kaosnya. Profane Existence, dalam edisi majalahnya yang terakhir, mengupas secara cukup mendetail mengenai prosesi perjuangan rakyat Indian tersebut, hingga band politis Rage Against The Machine-pun menyisihkan uang pendapatannya untuk membiayai pergerakan Zapatista tersebut.

Melihat kondisi global dalam scene punk/hardcore di dunia ini telah begitu jauh melangkah, rasanya cukup aneh apabila kita yang mau tidak mau adalah merupakan bagian dari scene punk/hardcore di dunia ini, tidak mengerti masalah internasional seperti Zapatista tersebut. Kadang beberapa scenester lokal berkata, buat apa kita membahas masalah internasional sementara masalah nasional saja masih bertumpuk. Sebenarnya persoalannya bukanlah masalah apakah suatu issue terjadi di negeri ini atau tidak, tetapi lebih merupakan masalah dunia, masalah yang mau tidak mau akan ada hubungannya dengan apa yang terjadi di Nusantara ini. Kadang kita malah bisa belajar menghadapi situasi negeri ini dengan mempelajari situasi di negeri lain. Oke, tampaknya saya terlalu bertele-tele, inti dari apa yang akan saya liput dalam kolom ini adalah kasus perjuangan rakyat Indian Maya di hutan Lacandon, Chiapas, Meksiko dibawah koordinasi gerakan Zapatista.

Sudah sejak ratusan tahun lamanya, rakyat Meksiko yang suku aslinya adalah suku Indian Maya, telah menghadapi ketidak adilan dan pembantaian oleh kaum kulit putih yang dimulai sejak kedatangan Columbus ke Amerika yang bagi rakyat penghuni benua Amerika adalah merupakan awal sebuah bencana. Beriringan dengan ekspansi Spanyol yang mengikuti jejak Columbus, pembantaian dan penghancuran peradaban bangsa Maya dimulai, dimana bangsa Spanyol menginginkan emas yang merupakan salah satu harta kekayaan rakyat Maya. Setelah era penjajahan mulai dihapuskan dan dianggap tidak manusiawi lagi (walaupun sebenarnya hingga kinipun penjajahan masih terus terjadi), bangsa Maya tetaplah tidak mendapat kembali hak-hak mereka walaupun sekedar untuk hidup secara layak di tanah mereka sendiri.

Awal akhir abad 19, seorang 'Robin Hood' muncul dari kalangan rakyat jelata dan menjadi tersohor karena keberaniannya dan dedikasinya membangunkan rakyat Meksiko (termasuk bangsa Maya) untuk bangkit, melawan dan berjuang untuk merebut kembali hak-hak mereka yang telah terampas. 'Robin Hood' tersebut yang bernama Emiliano Zapata, pada akhirnya meninggal dunia pada awal abad 20 lalu. Zapata telah meninggal, tetapi dia meninggalkan sesuatu bagi rakyatnya, sebuah semangat perlawanan yang terus berkobar hingga kini, sebuah semangat revolusioner yang oleh rakyatnya dimanifestasikan sebagai sebuah gerakan nasional yang diambil dari nama pejuang tersebut, Zapatista.

PEMBERONTAKAN DI CHIAPAS
Tahun baru 1994 yang sebenarnya diharapkan sebagai hari kemenangan oleh presiden Meksiko, Salinas atas diresmikannya perjanjian perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA). Sebuah perjanjian perdagangan bebas yang notabene adalah kebebasan berdagang bagi kaum borjuis dan merupakan penjara bagi rakyat dan kaum proletar. Tetapi perayaan tahun baru tersebut tidak seperti yang diharapkan oleh Salinas, karena justru pada awal tahun tersebutlah ribuan rakyat Indian Maya menghambur keluar dari hutan-hutan dengan membawa senjata dan kemudian menduduki tujuh kota penting di negara bagian Chiapas. Pada saat itu pula, dunia dikagetkan oleh kelompok Indian Maya yang miskin, kumuh, tetapi terorganisir dengan rapih dan sangat efisien. Pemberontakan kelompok Indian Maya yang berteriak ya basta! (sudah cukup!), teriakan kepada 500 tahun lebih penindasan, marginalisasi dan pembantaian Indian Maya di Meksiko.

Dalam beberapa hari, kelompok Indian tersebut menduduki penjara-penjara dan membebaskan para narapidana sebanyak hampir 200 orang (dimana kebanyakan para napi adalah orang-orang tak bersalah yang dijebloskan ke dalam penjara oleh sistem yang tidak adil), menghancurkan beberapa pusat interogasi polisi, menduduki gudang-gudang senjata dan amunisi, serta membakar dan menghancurkan dokumen-dokumen dan arsip-arsip kota di beberapa balai kota dan pengadilan. Aksi tersebut mencapai puncaknya ketika kaum Zapatista menculik bekas gubernur Chiapas (seorang militer, sama seperti di negeri kita), Jenderal Absalon Castellanos Dominguez, yang keluarga dan kroni-kroninya memerintah daerah tersebut selama beberapa dekase dengan sewenang-wenang seakan daerah tersebut adalah merupakan milik pribadi mereka. Zapatista menahan Dominguez selama 45 hari untuk kemudian diajukan sebagai seorang terdakwa di depan pengadilan rakyat dengan tuduhan melakukan korupsi, pemerasan, penculikan dan pembunuhan (sama seperti apa yang telah dilakukan oleh bekas presiden Suharto dan jenderal-jenderalnya). Tetapi setelah Dominguez diadili diahdapan rakyat banyak dan diputuskan bersalah, Zapatista membebaskannya tanpa ada cedera sedikitpun juga. Hal tersebut dilakukan sebagai sebuah statement bahwa Zapatista menginginkan perdamaian dan pembebasan tersebut bagi pemerintah dianggap sebagai sebuah pelecehan atas segala tindakan pemerintah beserta kekuatan militernya terhadap rakyat. Rakyat ketujuh kota tersebut yang pada awalnya sangat ketakutan akan adanya pemberontakan tersebut, segera berubah menjadi bersimpati kepada kelompok Zapatista, setelah mereka mendapati bahwa ternyata kelompok tersebut bertindak sangat sopan terhadap rakyat daerah tersebut dan tidak melakukan perampasan, penjarahan milik rakyat, bahkan saat kelompok tersebut meminta bantuan suplai makanan dari rakyat setempat. Didukung dengan dibebaskannya Dominguez setelah dianggap bersalah oleh kelompok Zapatista, rakyat makin bersimpati dan dengan segera berpihak kepada kelompok Zapatista tersebut dengan menyuplai makanan bagi seluruh anggota kelompok tersebut.

Pemerintah dan militer yang kaget, segera terjaga dengan penuh dendam. Dalam waktu sepekan, mereka segera mengirimkan pasukan paramiliter dan merebut kembali ketujuh kota tersebut secara brutal dan membunuhi siapapun yang mereka temui. Di salah satu kota tersebut, menurut perkiraan seorang pastor Katholik yang selamat dari pembantaian militer, lebih dari 400 orang yang justru sebagian besar adalah rakyat sipil, telah terbunuh dalam peristiwa tersebut. Melihat kejadian tersebut, Zapatista segera melakukan perundingan damai. Perundingan tersebut pada akhirnya menjanjikan sebuah harapan perdamaian, tetapi dalam kenyataannya, militer secara diam-diam terus melakukan teror-teror terhadap rakyat sipil dan menuduh bahwa hal tersebut adalah tindakan Zapatista, sehingga Chiapas menjadi seperti kamp-kamp bersenjata yang penuh dengan kegelisahan dan penderitaan.
Tanggal 10 Januari 1994, surat-surat kabar di seluruh Meksiko menerima statement resmi dari seseorang yang menyebut dirinya sebagai Subcomandante Marcos, "Kami disini mati setiap saat dan sekarat sekali lagi, tetapi kehidupan menjadi lebih obyektif." Dalam waktu kurang dari sepekan kemudian sosok Marcos menjadi topik media massa internasional karena ia pernah menguasai Chiapas. Dia dianggap dan dihormati oleh rakyat seperti Robin Hood, Lone Ranger, atau Geronimo, bahkan dianggap sebagai titisan pemimpin petani revolusioner Meksiko, Emiliano Zapata, dan dianggap sebagai 'pahlawan gerilya pasca-modern yang pertama'.

Hingga kini, pemerintah dan pasukan militernya masih terus melakukan teror yang memaksa kelompok Zapatista tersebut menyingkir ke pedalaman hutan Lacandon. Zapatista kemudian membuka komunitasnya di hutan tersebut dan menjalankan sistem tatanan sosial masyarakat dengan berdasarkan kepada sistem demokrasi langsung (direct-democracy), membangun organisasinya dengan lebih efisien baik dalam pergerakan maupun dalam kehidupan sehari-harinya.

PAGAR MILITER DI KOMUNITAS CHIAPAS
Kaya akan sumber daya alam --minyak bumi, mineral dan biosphere-- Chiapas segera menjadi incaran dari para pengeruk keuntungan dari kebijakan ekonomi global. Dalam bagian untuk menjaga dan mengusahakan agar terkuasainya sumber-sumber daya alam tersebut, militer telah disebarluaskan di berbagai penjuru daerah Meksiko sebanyak sekitar satupertiga dari seluruh tentara yang ada di Meksiko. Walaupun sumber-sumber daya alam yang telah ditambang dan diproduksi selama ini sudah sangat berlimpah, pada kenyataannya lebih dari 70 persen dari seluruh anak-anak yang ada di Meksiko menderita kekurangan gizi. Dalam usahanya menguasai seluruh sumber daya alam yang ada, pemerintah Meksiko melalui struktur pemerintahan oleh partai tunggal yang sangat korup (seperti disini pada era kejayaan partai tunggal Golkar) berusaha dengan segala cara untuk menyingkirkan komunitas Zapatista yang secara legal telah membentuk FZLN (Front Pembebasan Nasional Zapatista) dari basisnya di hutan Lacandon, Chiapas. Pemerintah juga memperkuat tentara mereka dengan membentuk lebih banyak lagi tentara, mengeruk lebih banyak lagi uang untuk memperkuat persenjataan tentaranya dan melakukan latihan-latihan perang di hutan-hutan yang belum dikuasai Zapatista; selain itu pemerintah juga menyulut konflik-konflik etnik dan agama untuk memecah belah komunitas tersebut (sekali lagi, hal ini seperti yang sekarang terjadi di Nusantara); serta mengajukan kebijakan-kebijakan yang pada intinya hanya melegitimasi kekuasaan militer dan segala tindakannya yang pada akhirnya hanya menghapus kebebasan rakyat seperti hak untuk berbicara, berekspresi, berorganisasi dan mendapat jaminan keamanan (ingat juga kasus UU PKB di Nusantara).

Bagi pemerintah, Chiapas yang merupakan sumber daya alam terbesar di Meksiko tersebut haruslah dibuat menjadi aman. Tetapi aman bagi siapa? Bagi pemerintah, situasi aman tersebut hanyalah diperuntukkan bagi korporasi-korporasi multinasional yang sedianya akan mendirikan tambang-tambangnya di hutan-hutan tersebut, aman bagi para investor asing yang menanamkan modalnya di Meksiko, bukan keamanan bagi rakyat Meksiko sendiri (lihat juga kasus Atjeh dan Papua Barat, dimana pemerintah Indonesia menginginkan situasi di daerah tersebut menjadi aman bagi korporasi multinasional yang ada, bukan bagi rakyat). Pemerintah Meksiko sadar bahwa Zapatista adalah ancaman terbesar bagi agenda-agenda mereka yang memapankan ketidak-adilan, penumpukan modal, pengeksploitasian alam, serta penindasan bagi para buruh dan rakyat Indian Maya.

Pada langkah pertamanya, pemerintah setelah menandai daerah yang akan dibangun pertambangan, mulai membuat jalur bagi rencana pembangunan jalan menerobos hutan, dimana jalan tersebut rencananya akan melewati daerah dimana kelompok Zapatista membangun komunitasnya. Tentu saja Zapatista menolak rencana tersebut dengan mengajukan akibat-akibat yang akan timbul bila jalan tersebut direalisasikan. Agenda pemerintah sangatlah simpel: membuka hutan hujan alami untuk kemudian mengeksploitasinya secara besar-besaran dan disaat yang sama dapat memudahkan bagi pengiriman pasukan paramiliter kedalam basis pergerakan Zapatista. Mungkin agenda pemerintah sangatlah simpel, tetapi apa yang mereka hasilkan tidaklah simpel: represifitas militer terhadap komunitas Indian Maya, degradasi moral seperti alkohol, prostitusi, penindasan ekonomi, kekacauan dan kehancuran alam yang menjadi penopang kehidupan di Meksiko yang juga berkaitan dengan masa depan bumi. Dengan visi tersebut, komunitas Zapatista menolak agenda tersebut.

Zapatista tidaklah menolak kemapanan, tetapi kemapanan yang mereka harapkan bukanlah kemapanan seperti yang dilakukan dalam dunia kapitalistik. Melainkan kemapanan dimana tiap individu mempunyai hak hidup yang sama dengan lainnya serta dapat hidup secara harmonis dengan lingkungan alam disekitarnya. Melawan kemapanan dari sistem saat ini, Zapatista membangun sekolah-sekolah sendiri, membangun struktur manajemen yang diatur sendiri oleh seluruh rakyat dalam komunitas, membangun klinik-klinik pengobatan, lahan-lahan pertanian, dan memapankan suatu sikap kebersamaan. Zapatista menolak sistem yang dimapankan dengan kekuatan senjata, uang dan ancaman-ancaman serta alienasi.

Otomatis mereka menolak intervensi sistem ke dalam komunitas mereka. Mereka tidak menginginkan pembangunan jalan melalui Amador Hernandez, sebuah kota yang merupakan tempat pengenangan Emilio Zapata. Kota tersebut bertempat dalam wilayah kotamadya Ocosingo, di lembah Amador di pinggiran daerah Montes Azules yang merupakan daerah yang kaya akan biosphere-nya.

Pemerintah mengabaikan suara rakyat Indian Maya dengan tetap berkeras membangun jalan utama menerobos selva (hutan) dan mengabaikan biosphere di Montes Azures. Pembangunan jalan dimulai pada tanggal 12 Agustus 1999 lalu langsung dari titik Amador Hernandez hingga San Quintin, dimana di daerah tersebut segera dibangun lebih dulu sebuah komplek militer yang kuat. Para penduduk lokal baik dari kedua kota tersebut sepakat untuk menolak pembangunan tersebut. Mereka percaya bahwa pembangunan jalan tersebut hanya akan mempermudah intervensi militer kedalam komunitas Zapatista di dalam selva. Dan sejak tanggal 14 Agustus, dua hari setelah proyek dimulai, pemerintah telah mengirim 10.000 tentara ke kamp-kamp yang baru dibentuk tersebut di Lacandon.

Penduduk di kedua daerah tersebut juga melihat bahwa bukan hanya Zapatista yang terancam, tetapi juga selva yang merupakan tempat hidup mereka seperti yang mulai terjadi di region Montes Azules, dimana pepohonan mulai ditebangi secara besar-besaran oleh korporasi-korporasi multinasional yang hasilnya juga jelas bukan untuk rakyat sendiri.

Tanggal 12 Agustus 1999 tersebut, ratusan penduduk melancarkan aksi protes. Mereka berkumpul dan duduk di tempat, tepat di depan barisan tentara yang bersenjata lengkap dan membawa gulungan kawat berduri. Aksi tersebut segera didukung oleh organisasi-organisasi mahasiswa yang baru saja selesai melaksanakan pertemuan nasional di La Realidad untuk membahas taktik kedepan untuk FZLN. Tidak berapa lama kemudian, berbagai organisasi mahasiswa beserta seluruh staff-staff pengajarnya, dan berbagai organisasi rakyat segera memperkuat barisan penduduk yang tetap duduk tak bergeming di jalanan dihadapan militer. Melihat keadaan yang semakin menyudutkan pihaknya, pemerintah segera merespon aksi rakyat tersebut dengan tindak-tindak brutal untuk membubarkan massa. Segera setelah massa tercerai berai, militer membuka dan memasang gulungan kawat berduri untuk mencegah rakyat kembali lagi ke tempat tersebut sejauh beberapa kilometer. Hal tersebut segera diikuti dengan pembangunan mendadak landasan gabi helikopter militer yang menyuplai dengan segera peralatan dan pasukan paramiliter lain yang dalam beberapa jam telah membangun kamp militer baru.

Tetapi walau bagaimanapun, represifitas militer dan kuatnya solidaritas dari rakyat telah membuat aksi tersebut dikabarkan ke segala penjuru, yang membuat pemerintah segera mengeluarkan keputusan untuk menunda dulu pembangunan jalan tersebut setidaknya untuk waktu dekat ini.

Pemerintah mungkin menunda pelaksanaan proyek, tetapi juga tidak mungkin menghentikannya. Dapat dipastikan, bahwa entah dalam beberapa waktu lagi --mungkin segera-- pemerintah akan mengiriimkan lebih kuat lagi paramiliternya, tank-tank beserta seluruh amunisinya dan senjata penghancur lainnya kedalam kampnya untuk kemudian menuju kedalam selva, kedalam jantung kehidupan komunitas Indian Maya Zapatista.

Dan tentu saja, secara berimbang, Zapatista juga akan terus melawan hal tersebut. Seperti yang dikatakan dengan tegas oleh Subcomandante Marcos pada bulan Agustus lalu, "Kami ingin agar jalan yang dibangun akan menyalurkan kemakmuran yang dalam hal ini adalah sumber daya alam Chiapaneco demi kepentingan seluruh rakyat Meksiko, bukan untuk dijual demi mata uang asing. Kami ingin agar jalan yang dibangun digunakan untuk kemerdekaan dan kedaulatan rakyat Meksiko, bukan untuk memperkuat mereka yang telah memerintah kami seakan kami adalah budak mereka dan membeli negeri ini seakan negeri ini adalah sebuah barang yang murah... Dan selama jalan yang akan dibangun hanya meningkatkan penindasan, penderitaan dan angka kematian bagi komunitas penduduk asli (Indian Maya), Zapatista akan beroposisi menentang hal tersebut, kami akan melawan. Walaupun kami akan menderita dalam perlawanan kami, walaupun mereka akan menyerang kami, walaupun mereka akan memenjarakan kami, walaupun mereka akan membunuh kami, walaupun mereka akan menyebarkan kebohongan mengenai diri kami, kami tidak akan mengizinkan aksi dari pemerintah tersebut yang hanya akan menyebabkan kematian, penderitaan, pengabaian dan ketakutan..." (diambil dari sebuah artikel dalam jurnal Earth First! edisi November-Desember 1999 yang berjudul: 'Military Fences In Chiapas Communities', oleh: Irlandesa).

Hingga kini masalah tersebut belum berakhir, tetapi pemerintah Meksiko akan terus dihantui oleh bayang-bayang pemberontakan rakyat oleh Zapatista, selama mereka terus berusaha melakukan penindasan terhadap rakyat.

Hal tersebutlah yang menjadi alasan, mengapa begitu banyak media-media (terlebih) independen yang mengangkat tema perjuangan rakyat di bagian Chiapas, Meksiko. Maka tidak heran apabila punk/hardcore yang pada kelahirannya telah mengagungkan kata kebebasan, banyak yang turut serta memperhatikan soal ini. Terlebih lagi bagi kita yang tinggal di Nusantara ini, dimana terdapat banyak kesamaan-kesamaan dalam keputusan pemerintah yang sebenarnya hanya menyengsarakan rakyat. Mulai dari pemerintahan yang militeristik, penanaman modal asing yang berakibat pengeksploitasian alam demi mata uang asing, pembuatan kebijakan-kebijakan yang hanya melegitimasi absolutisme militer, merebaknya konflik-konflik sara yang disebabkan oleh pemerintah untuk memecah belah rakyat, dan lain sebagainya.

Chiapas terus bergolak. Perlawanan rakyat juga terus berkobar. Dan kejadian-kejadian tersebut menyisakan sedikit pertanyaan pada kita di Nusantara ini, "Akankah kita biarkan perlawanan rakyat hanya terjadi di Chiapas-Meksiko saja dan tidak di Indonesia?" Lawanlah. Punk/hardcore adalah sebuah budaya perlawanan.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan